Kata suami, ”Setelah menikah, saya dan Sara tinggal bersama keluarga saya di rumah orang tua saya. Suatu hari, pacar adik lelaki saya meminta tolong untuk diantar pulang. Saya mengiakan dan mengajak putra saya yang masih kecil. Tapi, begitu saya pulang, Sara marah-marah. Kami mulai bertengkar, dan di depan keluarga saya, ia menuding saya mata keranjang. Emosi saya pun meledak dan saya mulai mengatakan hal-hal yang membuatnya makin kesal.”
Kata
istri, ”Putra kami sakit-sakitan,
dan pada waktu itu kami sedang mengalami kesulitan keuangan. Jadi, ketika Ferry
pergi naik mobil bersama pacar adiknya dan putra kami, saya memang sudah
jengkel karena beberapa alasan. Begitu ia pulang, saya melampiaskan perasaan
saya. Kami bertengkar hebat dan saling mengata-ngatai. Perasaan saya setelah
itu sungguh tak karuan.”
JIKA suami istri bertengkar, apakah itu
berarti mereka tidak lagi saling mencintai? Tidak! Ferry dan Sara, yang
disebutkan di atas, sangat mencintai satu sama lain. Namun, dalam perkawinan
yang terbaik pun, konflik adakalanya terjadi.
Mengapa konflik bisa timbul, dan apa
yang dapat Anda lakukan agar perkawinan Anda tidak sampai hancur karenanya?
Memahami Tantangannya
Kebanyakan pasangan suami istri ingin
memperlakukan satu sama lain dengan pengasih dan baik hati. Tetapi, sewaktu
timbul perbedaan pendapat, emosi bisa jadi sulit dikendalikan. Dan, jika sudah
terjadi perbantahan, ada yang mungkin merasa sulit sekali melawan kebiasaan
buruk, seperti berteriak-teriak dan mencaci. Faktor apa lagi yang bisa
menyebabkan ketegangan?
Suami dan istri sering kali memiliki gaya berkomunikasi yang
berbeda. ”Begitu menikah,” kata Michiko, ”saya menyadari kami memiliki cara
yang sangat berbeda ketika membahas sesuatu. Saya tidak hanya suka membicarakan
apa yang terjadi, tetapi juga mengapa dan bagaimana itu terjadi. Sedangkan suami saya tampaknya hanya
tertarik pada hasil akhirnya.”
Bukan Michiko saja yang mengalami
dilema tersebut. Dalam banyak perkawinan, yang satu mungkin ingin membahas
suatu ketidaksepakatan dengan panjang lebar, sedangkan yang lain tidak menyukai
perbantahan dan enggan membicarakannya. Kadang-kadang, jika yang satu makin
mempersoalkan masalahnya, yang lain akan makin berupaya menghindarinya. Apakah
Anda memperhatikan pola ini berkembang dalam perkawinan Anda? Yang satu suka
membahas masalah, dan yang lain suka menghindar?
Faktor lain yang bisa diperhatikan
ialah latar belakang keluarga seseorang dapat mempengaruhi persepsinya tentang
bagaimana seharusnya suami istri berkomunikasi. Yulius, yang telah menikah
selama lima
tahun, mengatakan, ”Saya berasal dari keluarga yang pendiam, dan tidak mudah
bagi saya untuk terbuka membicarakan perasaan saya. Hal ini membuat istri saya
frustrasi. Keluarganya sangat ekspresif, dan ia selalu blak-blakan mengungkapkan
perasaannya kepada saya.”
Mengapa Masalah
Perlu Diatasi?
Kunci Keberhasilan—Hindari
Pola Tutur Kata yang Menyakitkan
Tidak soal gaya berkomunikasi Anda atau latar belakang
keluarga Anda, ada pola tutur kata tertentu yang menyakitkan yang harus
dihindari jika Anda ingin menerapkan prinsip hidup dan berhasil menangani
konflik. Pikirkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
▪
’Apakah saya melawan keinginan untuk membalas?’ ”Hidung
yang ditekan mengeluarkan darah, dan kemarahan yang ditekan keluar menimbulkan
perselisihan,” kata sebuah pepatah yang bijaksana. Apa artinya? Perhatikan
contoh ini. Apa yang mulanya sekadar perbedaan pendapat tentang cara
menyeimbangkan anggaran keluarga (”kita perlu mengendalikan pemakaian kartu
kredit”) dapat dengan cepat berubah menjadi serangan terhadap sifat
masing-masing (”kamu ini sangat tidak bertanggung jawab”). Memang, jika teman
hidup Anda ’menekan hidung Anda’ dengan menyerang sifat Anda, Anda mungkin
merasa ingin langsung balik ’menekan’. Tetapi, balas-membalas hanya akan
berujung pada kemarahan dan memuncaknya perselisihan.
Penulis bernama Yakob memperingatkan,
”Lihat! Betapa kecil api yang diperlukan untuk membakar hutan yang begitu
besar! Nah, lidah adalah api.” Apabila suami istri tidak mengendalikan lidah
mereka, pertengkaran kecil bisa segera berkobar menjadi konflik yang
menyala-nyala. Dan, perkawinan yang sering dilanda kobaran emosi seperti itu
tidak bisa menjadi lingkungan yang baik untuk berkembangnya kasih.
Ketimbang membalas, dapatkah Anda
”tidak membalas dengan mencerca”? Cara tercepat untuk memadamkan api
perselisihan adalah mengakui benarnya sudut pandang teman hidup Anda dan
meminta maaf atas andil Anda dalam konflik tersebut.
COBA
INI: Lain kali bila terjadi
perbantahan, ajukan pertanyaan ini, ’Apa ruginya kalau saya mengakui
keprihatinan teman hidup saya? Apa yang telah saya lakukan yang turut
menimbulkan problem ini? Apa yang membuat saya merasa berat meminta maaf atas
kesalahan saya?’
▪
’Apakah saya menganggap sepele atau meremehkan perasaan teman hidup saya?’ ”Hendaklah kamu semua sepikiran,
memperlihatkan sikap seperasaan,” Perhatikan dua alasan mengapa Anda mungkin
gagal menerapkan nasihat ini. Satu, Anda mungkin kurang memahami pikiran, atau
perasaan, teman hidup Anda. Misalnya, jika teman hidup Anda lebih mencemaskan
sesuatu daripada Anda, Anda mungkin cenderung mengatakan, ”Ah, kamu ini
berlebihan.” Anda mungkin berniat membantu dia melihat problemnya secara lebih
objektif. Tetapi, komentar demikian biasanya tidak menenangkan. Suami maupun
istri perlu tahu bahwa orang yang mereka cintai memahami dan seperasaan dengan
mereka.
Kesombongan juga bisa menyebabkan
seseorang menyepelekan perasaan teman hidupnya. Orang yang sombong berupaya
meninggikan diri dengan terus merendahkan orang lain. Ini mungkin dilakukan
dengan mengejek atau membanding-bandingkan.
Ingat-ingatlah bagaimana reaksi Anda
saat teman hidup Anda mengutarakan unek-uneknya. Apakah kata-kata, nada suara,
dan raut muka Anda menunjukkan empati? Atau, apakah Anda biasanya cepat
meremehkan perasaan teman hidup Anda?
COBA
INI: Selama minggu-minggu mendatang,
perhatikan cara Anda berbicara kepada teman hidup. Jika Anda suka meremehkan
atau mengatakan sesuatu yang merendahkan, langsung minta maaf.
▪
’Apakah saya sering menganggap teman hidup saya hanya memikirkan dirinya sendiri?’
Jika suami istri tidak berhati-hati,
mereka bisa mengembangkan pola yang serupa. Sebagai contoh, jika teman hidup
berbuat baik untuk Anda, apakah Anda mencurigai ’ada udang di balik batu’,
mungkin sesuatu yang ia inginkan atau yang ia sembunyikan? Jika teman hidup
Anda berbuat salah, apakah Anda memandang kesalahan itu sebagai bukti bahwa ia
egois dan tidak peduli? Apakah Anda langsung teringat akan kesalahan-kesalahan
serupa di masa lalu dan menambahkan yang ini dalam daftar Anda?
COBA
INI: Buatlah daftar tentang hal-hal
positif yang pernah dilakukan teman hidup untuk Anda dan motif baik di balik
perbuatan itu.
”Kasih tidak mencatat kerugian.” Kasih
atau cinta sejati tidak buta, tetapi juga tidak mencatat kerugian. ”percaya
segala sesuatu”. Tidak berarti bahwa kasih semacam ini asal percaya, tetapi
kasih itu siap untuk percaya. Kasih itu tidak sinis dan penuh curiga. Kasih
yang dianjurkan itu siap mengampuni dan tidak berprasangka buruk. Apabila suami
dan istri memperlihatkan kasih semacam ini kepada satu sama lain, mereka akan
menikmati perkawinan yang bahagia.
RENUNGKANLAH
. . .
▪
Apa saja kesalahan suami istri yang disebutkan di awal artikel ini?
▪
Bagaimana saya dapat menghindari kesalahan yang sama dalam perkawinan saya?
▪
Pokok-pokok mana di artikel ini yang paling perlu saya upayakan?
loading...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar